Edisi 187 - FLEKSIBILITAS

FLEKSIBEL. Inilah tema kita dalam edisi ini. Satu kata yang cukup luas cakupannya. Kami memilih kata ini masih sehubungan dengan dampak dari pandemi Covid-19 yang boleh dikatakan telah ‘menjungkirbalikkan’ kebiasaan hidup manusia, memaksa kita untuk hidup tidak seperti biasanya. Semua harus di­ kerjakan­ dari­ rumah.­ Ini­ menuntut­ kita­ untuk ­bisa­ hidup ­fleksibel, ­tidak­ kukuh­ pada norma umumnya. Pada awalnya mungkin terasa aneh dan tidak nyaman, namun seiring dengan berjalannya waktu, semua dapat teratasi.
­

Sebetulnya,­kita dituntut untuk­ hidup ­fleksibel­ bukan­ hanya­ sekarang ­ini,­ setelah adanya pandemi Covid-19, tetapi sejak kita lahir ke dunia ini. Namun kata ini sepertinya baru terasa ‘in’ sekarang ini. Sebagai manusia sosial yang hidup bersama-sama­ di­ dalam ­suatu­ masyarakat, ­kita ­dituntut­ untuk­ hidup ­fleksibel,­ dalam arti dapat timbang rasa, tidak egois, tidak hanya aku, aku, aku. Kita harus bisa hidup tarik-ulur dengan orang lain. Ada kalanya kita harus mengalah, dan ada kalanya kita harus berpegang pada pendapat kita. Ada kalanya kita harus mengakui keunggulan orang lain, dan menerima pendapatnya. Ada kalanya kita harus berkata “tidak” pada orang lain.
­

Hidup­ fleksibel­ itu ­tidak­ sama­ dengan ­hidup ­bebas ­merdeka ­semau­ gue.­ Ada norma-norma kebenaran yang tidak boleh dilanggar. Misalnya, kita boleh saja bergaul dengan orang-orang yang hidup di dalam gelimang dosa, namun jangan mengikuti jalan mereka; sebaliknya, berusaha menyadarkan mereka dari ketidakbenaran hidup mereka. Bagi anak-anak Tuhan, norma-norma kebenaran itu adalah Firman Allah. Di dalam edisi ini kami sajikan tulisan-tulisan yang berhubungan­ dengan ­hidup­ fleksibel.­ Kiranya ­ini­ dapat­ memberikan ­kita­ pen­cerahan ­bagaimana ­kita­ harus ­hidup­ fleksibel.­ SELAMAT­ BELAJAR­ HIDUP­ FLEK­SI­BEL­ DENGAN ­BENAR.

Redaksi


Unduh